Logo Header

Catatan Kaki bagi Helmi Hidayat: Kasus SPG dan al-Zaytun dalam Perspektif Hukum (Teocentric) dan Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Nurmalasari
Nurmalasari Jumat, 07 Juli 2023 00:55
Adi Prihasmoro (ist)
Adi Prihasmoro (ist)

Oleh: Adi Prihasmoro

The One & Only Teocentric Lawyer

Pendahuluan

BERITA Syekh Panji Gumilang (SPG) dan Pondok Modern Al-Zaytun (Kasus SPG) telah mendominasi diskusi publik di Indonesia. Tema sentral seputar “kesesatan” SPG pun telah menjadi “ghibah publik” yang hemat saya telah kontra produktif dan menghabiskan energi sia-sia. Dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini memprihatinkan ketika semua orang gaduh berbicara tanpa otoritas, bahkan melibatkan lembaga sekelas Majelis Ulama Indonesia (MUI), atau memang karena digiring Media Nasional yang menurut hemat saya diskusi publik yang terjadi telah salah fokus dalam melihat Kasus SPG, jika tidak mau dikatakan salah konteks.

Kehadiran negara dan hukum sangat penting dalam Kasus SPG yang telah menimbulkan kegaduhan masyarakat ini. Penegak hukum seharusnya tidak terbawa arus diskusi publik, media massa, atau media sosial. Hal yang perlu disadari semua pihak bahwa Kasus SPG ini adalah masalah hukum (muammalah) dan ketertiban masyarakat, bukan masalah langit (ibadah – hablum min Allah).

Khusus untuk masalah yang disebut terakhir itu, secara sarkastik umat Islam, dalam hal ini termasuk MUI, tidak perlu mengambil alih otoritas Tuhan (sebagai al-Hakam) untuk menghakimi sesat – tidaknya, surga-neraka, bahkan hidup dan matinya SPG. Kiranya sebagai muslim yang berhati jernih akan melihat pengambilalihan otoritas Tuhan ini justru merupakan perbuatan sesat yang paling nyata (baca: syirik kubro).

Namun demikian jangan salah paham, dan karenanya ulasan ini pun akan dimulai dari diskusi publik yang berkembang di kalangan umat Islam sendiri, khususnya berangkat dari artikel Helmi Hidayat, yang disampaikan di media sosial dan berbagai media massa lainnya, untuk kemudian membumikan Kasus SPG dalam konteks hukum dan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dilakukan sebagai upaya desakralisasi atau membumikan Kasus SPG dari perspektif teologis (Islam) menjadi isu hukum di masyarakat, di mana manusia (sebagai khalifatullah fii al-ardi) yang memang diberikan otoritas Tuhan untuk menyelesaikannya (antum ta’lamuu maa umuri dunyakum).

Kisah tentang Penegakan Hukum dalam Ranah Teologis

Bantahan teologis Helmi Hidayat kepada Cholil Nafis Ketua MUI Bidang Dakwah, yaitu tentang tidak berwenangnya MUI menyatakan sesat dan tidak sesatnya SPG karena hal itu seharusnya hanya menjadi kewenangan mutlak Allah Tuhan Semesta Alam. Dalil bantahannya dimulai dengan mengutip kisah di dalam Perjanjian Baru Injil Yohanes 8: 11. Di kisahkan bahwa Yesus (Isa almasih) tidak menghukum wanita pezina yang dihadapkan oleh pemuka-pemuka Yahudi yang benar-benar memahami dan menguji konsistensi Yesus sebagai guru Yahudi yang mengajarkan Taurat, dimana di dalam Taurat hukuman bagi pezina adalah rajam. Saat itu Yesus mempersilahkan pemuka-pemuka Yahudi tersebut yang merasa suci dan tidak pernah berdosa untuk melakukan eksekusi rajam kepada wanita tersebut.

Pemuka-pemuka Yahudi itu pun pergi satu per satu tidak menghukum rajam wanita tersebut karena sadar mereka pun bukanlah orang-orang suci dan tinggallah wanita itu sendiri bersama Yesus. Yesus pun mengatakan kepada wanita itu, pergilah aku pun tidak menghukummu.

Dalil tersebut untuk mengargumentasikan bahwa Yesus ( + 6 – 30 SM) saat itu pun tidak menghukum wanita pendosa yang dihadapkan kepadanya berdasarkan hukum Taurat, dan demikian pula hendaknya MUI tidak perlu menghukumi SPG terkait sesat atau tidaknya berdasarkan hukum al-Quran. Dalam prespektif filosofis tentang otoritas atau kewenangan untuk menghukumi kesesatan SPG mungkin argumentasi itu benar, namun kurang penjelasan lebih lanjut jika ditujukan kepada MUI. Dalam kisah tersebut Yesus yang tidak menghukum wanita pezina yang dihadapkan kepadanya (Vide : Yohanes 8 : 11), bukan dalam konteks tidak menjalankan hukum Taurat atau dapat disimpulkan ajaran kasih Yesus telah meng-Amandemen Hukum Taurat. Ternyata tidaklah demikian, karena di kemudian zaman setelah hadirnya Muhammad SAW (570 – 632) sang pembawa risalah al-Quran, justru Nabi SAW inilah yang melaksanakan eksekusi hukum rajam yang telah termuat di Hukum Musa (Taurat).

Dalam konteks kisah Yesus dan wanita pezina tersebut semestinya ditafsirkan bahwa ajaran Yesus hadir menggenapi hukum Taurat, namun tidak menghukum wanita penzina itu oleh karena keberadaannya di luar batas otoritas kewenangannya. Yesus sebagai “guru” Yahudi bukanlah penegak hukum, tidak memiliki otoritas sebagai hakim di dunia. Maka dalam konteks hukum dan bernegara, seharusnya demikian pula dengan MUI yang pada dasarnya bukan bagian dari struktur hukum dalam proses law enforcement terhadap Kasus SPG.

Hemat saya sekiranya menjadi lebih akurat, jika saja argumentasi Helmi Hidayat dapat merelasikan proses hukum Kasus SPG dengan kisah yang hampir serupa dengan kisah Yesus dan wanita pezina di atas, yaitu kisah yang diriwayatkan dalam HR. Imam Muslim No.4528. Dalam hal ini tentunya dalam konteks yang lebih spesifik yaitu tentang kewenangan otoritas hukum dan pembuktian Kasus SPG dalam sistem peradilan di Indonesia.

Dikisahkan bahwa seorang wanita mendatangi Nabi SAW meminta disucikan (dihukum) karena berzina. Rasulullah tidak menanggapi dan menyuruh wanita itu pulang. Tidak disangka keesokan harinya wanita itu datang kembali ke Nabi dengan menambahkan pengakuan bahwa dirinya minta dihukum karena telah berzina dengan menunjukkan bukti bahwa dirinya telah hamil. Setelah menerima pengakuan itu pun Nabi kembali menyuruh wanita itu pulang dan merawat kehamilan bayinya.

Sembilan bulan kemudian wanita itu kembali kepada Nabi SAW sambil menggendong bayinya dan kembali meminta dihukum karena perzinaannya itu. Alih-alih mengabulkan permintaan wanita itu, Nabi SAW pun menyuruh wanita itu kembali kepada kaumnya dan merawat bayinya hingga disapih persusuannya. Dikali yang ke-4 wanita itu kembali mendatangi Nabi SAW dengan membawa anaknya yang sudah membawa roti ditangannya. Wanita itu bersikukuh masih meminta kepada Nabi SAW untuk menghukum dirinya karena perbuatan zinanya di waktu yang telah berlalu.

Nabi SAW pun akhirnya memutuskan untuk menghukum wanita itu dengan mengungkapkan pertimbangan (legal reasoning) bahwa pada dasarnya Nabi SAW telah menyangkal perbuatan zina wanita itu karena tiada bukti dan saksi. Namun faktanya wanita itu datang padanya hingga 4 kali dengan pengakuan dan meminta Nabi untuk menghukumnya. Nabi pun memberi putusan dengan pertimbangan wanita itu telah benar-benar bertobat dan bersiteguh untuk menyucikan dirinya. Nabi pun menjatuhkan eksekusi dan meminta para sahabat Nabi untuk menegakkan hukum Allah. Jenazah wanita itu kemudian disalati dan dimakamkan, tetap dimuliakan seperti layaknya jenazah kaum muslimin.

Dalam prespektif hukum modern proses peradilan hingga eksekusi rajam wanita itu tidak dapat disimpulkan dijatuhkan tanpa menghadirkan alat bukti. Di dalam kisah tersebut ada 1 alat bukti yaitu “pengakuan” dari wanita pezina itu sendiri yang bahkan di ulang hingga 4 kali. Secara normatif untuk tuduhan zina pelapor harus mengahdirkan 4 orang saksi, maka pengakuan 4 kali tersebut dapat disetarakan dengan 4 saksi yang justru menunjukkan kesungguhan wanita tersebut untuk bertobat. Dalam hal ini hukum rajam yang termuat di Hukum Musa (Taurat) pun dijatuhkan, namun bukan dijatuhkan dengan rasa dendam dan kebencian, melainkan kasih sayang bagi seorang wanita yang hendak menyucikan dirinya meraih ridho illahi.

Berbeda dengan kisah pertama bahwa Yesus yang sebelumnya memang menyebut dirinya sebagai Rabi kaum Yahudi (guru agung, guru spiritual) sebagaimana dikabarkan dalam Injil Yohanes 13: 13-14, maka dalam kisah kedua justru Nabi SAW tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai guru (ustaz) bagi orang-orang dekat berada di sekitarnya. Orang-orang dekat yang mengenal, berjumpa, dan sezaman dengan beliau Nabi SAW lebih dikenal sebagai sahabat dan bukan disebut sebagai murid-muridnya. Nabi SAW dalam konteks lingkungan berbangsa dan bernegara justru diakui sebagai pemimpin masyarakat Madinah yang pluralistis seperti halnya Indonesia, karena Masyarakat Madinah pun utamanya meliputi suku Aus dan Khazraj yang mulanya saling bertikai, termasuk juga komunitas Yahudi dan Nasrani di Yastrib (Madinah).

Saat itu Nabi SAW sudah memiliki kapasitas pemimpin pemegang kuasa eksekutif, yaitu dipilih sebagai kepala pemerintahan Madinah. Selain itu Nabi SAW juga berkapasitas sebagai pemegang kuasa legislatif terkait perumusan Piagam Madinah, dan sekaligus pemegang kuasa yudikatif sebagai hakim pengadil atas kasus-kasus hukum dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara di Madinah. Dalam praktiknya judicative power yang disematkan kepada Nabi SAW adalah sebagaimana proses penegakan hukum terhadap pengakuan zina seorang wanita dalam kisah kedua di atas.

Dari kisah kedua tersebut, secara prinsip pola penegakan hukumnya dapat diaplikasikan atau dapat dibumikan oleh otoritas hukum di Indonesia dalam konteks penegakan hukum terhadap Kasus SPG di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Dalam hal ini Negara yang harus hadir demi kepentingan hukum publik dan menegakkan due process of law sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan atau anarkisme dalam penanganan Kasus SPG.

Membumikan Kasus SPG ke Ranah Negara Hukum dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Membumikan dalam hal ini diartikan dengan menurunkan level dikursus Kasus SPG dari perdebatan teologis yang justru dapat menjadi kontra produktif ke ranah pembahasan penegakan hukum yang lebih aplikatif dan konstruktif bagi ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 pada dasarnya identik dengan Piagam Madinah di masa Nabi SAW sebagai suatu bentuk kesepakatan bersama dalam masyarakat yang plural untuk hidup damai dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atau yang disebut sebagai Du Contracté Social oleh pakar sosiologi J.J. Rousseau (1762).

Struktur tata negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 berdasarkan tipologi trias politica secara sederhana dapat diuraikan menjadi Pemerintah (Presiden dan para Menterinya) sebagai executive power, DPR sebagai legislative power, dan pemegang judicative power dimandatkan pada Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman atas semua peradilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh Mahkamah Konstitusi (Vide Pasal 24 ayat 2 UUD 1945).

Selanjutnya dalam konteks penegakan hukum terhadap Kasus SPG siapakah pemegang otoritas hukum atau di manakah letak atau posisi atau peran MUI dalam hal ini. Berdasarkan mandat hukum dan peraturan perundang-undangan terkait aspek penegakan hukum (pidana) atau hukum publik dalam Kasus SPG secara umum dapat disebutkan bahwa Kepolisian dan Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri adalah executive power yang dapat memerankan upaya penyelidikan (menjawab apakah ada perbuatan pidana terkait penistaan agama), hingga upaya penyidikan (pengumpulan alat bukti) dalam Kasus SPG. Jika berkas penyidikan telah dinilai lengkap, Kejaksaan atas nama publik akan melakukan penuntutan dan menghadapkan Tersangka menjadi Terdakwa di Pengadilan yang berpucuk di Mahkamah Agung (judicative power). Di Pengadilan untuk selanjutnya Terdakwa akan diputus bersalah menjadi Terpidana oleh Majelis Hakim yang ditunjuk untuk mengadili Kasus SPG, jika memang dalam “proses sidang yang terbuka untuk umum” dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan Majelis Hakim untuk memutusnya bersalah.

Yang dimaksud terbukti secara sah dan meyakinkan adalah semua tuduhan atau tuntutan pidana oleh Jaksa di Pengadilan dapat terbukti dengan alat bukti hukum yang cukup (minimal dua alat bukti) menurut undang-undang dan syarat minimal pembuktian itu dapat “meyakinkan” Majelis Hakim tentang telah terjadinya suatu perbuatan pidana dalam Kasus SPG. Hal ini dapat diartikan bahwa tanpa keyakinan itu maka artinya Majelis Hakim berada dalam keraguan dan karenanya berhak untuk mengambil putusan yang paling meringankan Terdakwa (in dubio pro reo).

Alat bukti menurut undang-undang itu setidaknya ada Pengakuan, Saksi – Saksi, Bukti Surat (tertulis), Bukti Petunjuk, dan Keterangan Ahli. Alat bukti tersebut yang akan diajukan oleh Jaksa representasi Negara selaku penuntut umum dan dihadirkan di hadapan sidang Pengadilan. Saksi-saksi merupakan satu alat bukti dan harus lebih dari seorang saksi mengingat menurut hukum satu orang saksi dianggap bukan saksi (unus testis nullus testis). MUI “jika” dianggap perlu oleh Jaksa untuk dilibatkan dalam proses hukum untuk memperkuat alat bukti yang ada akan dihadapkan ke sidang pengadilan untuk disumpah dan diambil keterangannya di hadapan sidang sebagai Keterangan Ahli. Di hadapan sidang itu pun Keterangan Ahli itu akan di cross check dengan sanggahan/sanggahan dari Terdakwa atau Advokat pembelanya di hadapan sidang Majelis Hakim. Keterangan Ahli dalam hal ini bisa datang dari MUI atau pihak yang lain yang dinilai Jaksa diperlukan untuk membuktikan Kasus SPG, termasuk Ahli IT, Ahli Kedokteran (Forensik), Ahli Hukum (Pidana) dan lain-lain. Patut dicatat semua Keterangan Ahli itu hanya bernilai satu alat bukti saja.

Jika MUI hendak pro aktif dalam proses penegakan hukum Kasus SPG, secara hipotetis MUI dapat saja mengajukan Fatwa MUI berdasarkan penelitiannya ke Pengadilan Agama untuk dimohonkan kepada hakim untuk menetapkan amar putusan yang mengikat bagi SPG. Perkara atau fatwa yang dimohonkan putusan penetapannya ini tentunya perihal Kasus SPG yang berada di luar lingkup tuntutan pidana terhadap SPG yang telah menjadi kompetensi Peradilan Umum. Perlu ditegaskan bahwa keberadaan Peradilan Agama di Indonesia itu dijamin dan disebutkan dalam UUD 1945 sebagai peradilan bagi umat Islam dan berpucuk di Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada dasarnya merupakan sistem peradilan Islam di Indonesia, kecuali untuk perkara pidana (jinayah) yang menjadi kompetensi Peradilan umum. Tidak perlu ragu jika MUI dalam permohonannya mendalilkan al-Quran maupun al-Hadis karena Mahkamah Agung sebagai pemegang judicative power telah menetapkan kedua rujukan primer umat Islam tersebut sebagai sumber hukum, selain peraturan perundangan produk legislatif bagi Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan padanya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.: KMA/32/SK/IV/2006.

Jika memang dikabulkan putusan pengadilan ini nantinya dapat juga diserahkan kepada Jaksa sebagai “alat bukti surat” yang bernilai satu alat bukti, selain Keterangan Ahli itu sendiri. Hal ini memang berbeda dari mainstream pemahaman awam tentang Fatwa MUI. Dalam hal ini pada dasarnya Fatwa MUI itu dalam perspektif hukum adalah semacam legal opini atau pendapat hukum atau rekomendasi hukum. Dalam struktur hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia fatwa justru dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung dan Peradilan di bawahnya. Contoh kasus sederhananya adalah penetapan 1 Syawal berdasarkan rukyat al-hilal, di mana saksi yang melihat bulan barunya diperiksa, disumpah, dan ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

Kesimpulannya stop kegaduhan masyarakat untuk masalah-masalah teologis dalam Kasus SPG dan dapat menghabiskan energi sia-sia, selebihnya mari fokuskan perhatian pada proses hukum terkait dugaan-dugaan pelanggaran pidana di sekitar Kasus SPG yang jelas perlu kehadiran negara untuk meredam gejolak di Masyarakat. Seputar Kasus SPG antara lain, dugaan makar terhadap NKRI, dugaan perbuatan pidana asusila, dugaan penyelewengan dana sekolah/umat, dugaan adanya aliran dana money laundering yang mengalir ke al-Zaitun, dugaan terjadinya money politic atau jual beli suara dalam Pemilu yang terjadi di al-Zaitun, masalah akreditasi dan kurikulum pendidikan dll., dapat diselesaikan dan dipilah-pilah melalui proses peradilan yang tidak hanya melalui Peradilan Pidana saja, tetapi ada sebagian yang dapat dialamatkan ke Peradilan Agama, juga Peradilan Tata Usaha Negara, mungkin terkait perijinan dan instrumen hukum administrasi negara lainnya berkenaan dengan keberadaan al-Zaitun, atau bisa jadi melalui Mahkamah Konstitusi jika ada indikasi pelanggaran Pemilu yang melibatkan partai politik dan terjadi di lingkungan al-Zaitun. Jika salah kegaduhannya atau salah fokus, saya kawatir masyarakat menjadi lupa atau justru sengaja dibuat lupa terhadap isu-isu hukum yang justru lebih terjangkau oleh kehadiran Negara.

Jika masih berpolemik tentang kesesatan dalam polemik teologis seputar Kasus SPG, maka satu hal yang perlu disampaikan bahwa orang tidak dapat dihukum karena pemikirannya. Di mata hukum tidak ada yang salah dengan keyakinan dan pemikiran seseorang, oleh karenanya menurut hukum (pidana) tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Nurmalasari
Nurmalasari Jumat, 07 Juli 2023 00:55
Komentar